Konon, ada pejabat menyuruh orang mengukur tinggi tiang bendera. Tanpa pikir panjang dia memanjat tiang sambil mengukur tiang bendera tadi menggunakan meteran.
“Lho, kalau ngukur jangan begitu. Bahaya. Kalau roboh bagaimana?,” tanya pejabat tadi khawatir. “Bapak ini bagaimana. Tadi saya disuruh ngukur tingginya tiang ini, Tetapi setelah saya ukur tidak boleh, maksud bapak bagaimana? “Silahkan diukur, tetapi caranya jangan begitu, itu keliru! Tidak usah naik. Cukup dirobohkan, baru diukur dengan meteran sehingga tidak berbahaya.” jelasnya, “Bapak ini kelihatannya cerdas, ternyata bodoh, Bapak tidak bisa membedakan tinggi dengan panjang, Kalau tinggi arahnya ke atas pak, kalau panjang arahnya ke samping, Nah, kalau tiang bendera ini saya robohkan, berarti saya ngukur panjangnya, bukan ngukur tingginya. Bapak tadi kan menyuruh ngukur tingginya bukan panjangnya”
Nah, sepenggal percakapan ini menunjukkan bahwa orang itu memang cerdas. la bisa membedakan tinggi dengan panjang secara tepat dan cepat. Sedang pejabat tadi larut pada argumentasi orang tadi sehingga dia juga merasa salah. Kemampuan seperti orang tadi, bukan hanya cerdas, tetapi cerdik, Dia bisa matikan lawan bicara, tak berkutik, Apa bedanya cerdas dan cerdik, lihai atau yang lain ?
Dr. Siswono Yudo Husodo mengatakan, intelektual seseorang itu ada tingkatannya, Dari sisi positip, ada cerdas, cerdik, lihai, dan kemudian kalau tidak hati‑hati‑bisa menjadi licik, katanya. Terkait dengan pemimpin bangsa, Indonesia butuh pemimpin yang cerdas, cerdik, dan lihai. Tetapi, lanjut dia tidak boleh ada pemimpin yang licik. Negeri yang dipimpin orang licik bisa menyebabkan kerusakan. Cerdas itu penting sebab memimpin negeri dengan penduduk 220 juta jiwa butuh kemampuan intelektual tinggi. Lebih sempurna, kalau pemimpinnya cerdik. Yaitu, mampu mewujudkan kecerdasannya dalam kepemimpinan. Pemimpin yang cerdik, kata Hamka tidak berlama‑lama berpikir, merenung dan mencari jawaban jika ditanya sesuatu atau menghadapi persoalan pelik. Dia cekatan. Selanjutnya, perlu ditingkatkan satu lagi menjadi lihai. Pemimpin yang lihai, tidak akan mudah didikte bangsa lain. la bisa memainkan peran-peran di dunia global yang menuntut kelihaian tinggi. Jika tidak, maka seluruh negeri akan menjadi bulan‑bulanan bangsa lain.
Prof . Syafii Maarif, mengatakan di dunia kepemimpinan, ibarat seorang nahkoda, Ada nahkoda yang hanya bisa menjalankan kapal di atas air tenang, tidak ada hempasan gelombang. Dalam suasana tenang dia bisa, tetapi gugup ketika ada badai menghempas. Ada juga nahkoda yang mampu mengarungi lautan dengan tegar, lihai, dan bisa mencari celah gelombang sehingga bisa melaju dengan tenang di tengah gelombang besar yang menghempas. Bisa ditebak, kalau di tengah hempasan gelombang bisa menjalankan kapalnya dengan tenang, maka akan lebih mudah lagi menjalankan kapalnya di atas air tenang tanpa gelombang. Nah, nahkoda yang dimaksud seperti apa? Tanya saja pada orang yang cerdas, cerdik, dan lihai. Atau, bisa juga Anda tanyakan pada hati nurani.
Dikutip dari tausyiah275.blogsome.com
1 Comment:
aduu protes mulu see......,
"udah, biar diukur si brodeen aja"
kata pak pejabat
truss si broden ngukur panjang, eh...tinggi tiang itu pake tali rafia yang ada
gak lama...broden lapor pada bossnya,
- "wa pak, talinya ndak datang pak"
+ "....apa deen ??"
- "talinya ndak datang, pak"
+ "apaan see ....???" pak boss bignun
untung di situ ada terrii, sekretarisnya si boss
"maksud pak brodeen talinya nggak teko pak, nggak nyampe geetooo"
+ ooooo
Post a Comment